DaerahJawa Barat

Pengamat Sosial Reddy Mas Sahid : Karawang dan Geliat Prostitusi Masa Kini

Karawang dan Prostitusi Masa Kini
Reddy Mas Sahid

KARAWANG, JabarNet.com- Prostitusi merupakan sala satu patologi sosial yang senantiasa hadir di setiap zaman, menurut Kartono (2011) jika prostitusi tidak segera diobati maka ia akan menjadi penyakit kronis dan mengganas di tengah-tengah masyarakat.

Hal ini pun menjadi sorotan pengamat sosial Reddy mas sahid., S.IP, khususnya di Kabupaten Karawang, di Kabupaten Karawang sendiri prostitusi terbilang cukup eksis.

” Sebagai bukti, pada razia yang dilakukan oleh aparat gabungan pada tanggal 21 Mei 2023 lalu, terjaring belasan pasangan bukan suami istri yang diduga merupakan pelaku prostitusi,” ungkap Reddy melalui preslissnya kepada JabarNet.com, Kamis (25/5).

Menurut Reddy, sudah menjadi rahasia umum bahwa kegiatan prostitusi kini dilakukan di dalam kamar kost-kostan dan hotel murah. Hadirnya aplikasi kencan dan sosial media, memudahkan akses keterhubungan antara Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan konsumennya (di sini penulis menggunakan relasi ekonomi antara pemberi-penerima).

” Rendahnya kontrol pengawasan dalam pemanfaatan ruang, serta minimnya moralitas senantiasa dijadikan alasan utama untuk melihat penyebab terjadinya kegiatan prostitusi,” tulisnya.

Reddy mengatakan, hal ini pula yang menghasilkan alasan penanggulangan prostitusi secara utama dilakukan dalam kegiatan razia demi razia.

” Absennya pemerintah dalam melihat penyebab prostitusi secara komprehensif berakhir pada penciptaan siklus “mati satu tumbuh seribu.” katanya.

Lebih lanjut dikatakan Redsy, adanya fenomena Open Booking Out atau biasa disingkat Open BO, membuat permasalahan prostitusi semakin serius. Perluasan akses dan keterjangkauan harga untuk melakukan Open BO dikhawatirkan menjadi pemicu bagi massifnya kegiatan prostitusi di daerah perkotaan.

”  Terlebih, apabila fenomena ini  mengalami Fear of Missing Out (FOMO), maka bukan tidak mungkin Open BO dijadikan trend di kalangan Millennials dan Gen Z. FOMO berpotensi menjadikan Open BO sebagai dorongan untuk memenuhi persyaratan pergaulan.

Para Pelaku Prostitusi

Jika ingin secara serius dalam memerangi prostitusi, pemerintah harus memulai tugasnya secara totalitas untuk memutus mata rantai penyebabnya. Hal ini bisa dimulai dengan mengenal para pelakunya. Menurut Koentjoro (2004) motif utama seorang PSK biasanya meliputi kebutuhan ekonomi, mengikuti gaya hidup hedonis, hingga adanya kecenderungan hiperseksualitas.

” Sedangkan motif utama konsumennya antara lain memuaskan rasa penasaran, pelampiasan hasrat seksual, hingga terbawa arus pergaulan. Stigma PSK erat kaitannya dengan Jablay (Wanita Tuna Susila), padahal praktik Gigolo (Lelaki Tuna Susila) juga sudah semakin marak terjadi,” ujarnya.

” Bahkan, tidak jarang hubungan antara Jablay dan Gigolo  bersifat setali tiga uang, pada suatu waktu ada yang menjadi mucikari/germo untuk menghubungkan konsumen dengan PSK, dan di waktu lainnya menjadi PSK yang dijajakan pada Open BO,” imbuhnya.

Menggunakan Pendekatan Sosiologis dan Ketahanan Keluarga

Reddy menyampaikan, untuk mengatasi PSK dan Konsumennya, pemerintah tidak hanya mengandalkan pendekatan moralitas agama dan penegakkan hukum saja, Setidaknya pemerintah perlu mengedepankan pendekatan sosiologis dan ketahanan keluarga, untuk mengatasi keduanya di dalam satu kebijakan.

” Pemerintah harus segera menyadarkan mereka dari belenggu prostitusi, dengan menghadirkan faktor-faktor yang dapat menghentikan mereka menjadi PSK, serta konsumen yang membeli jasa tersebut secara permanen” kata Reddy.

Dikarenakan prostitusi merupakan bagian dari patologi sosial, maka dibutuhkan penelitian sosial secara mendalam, dengan menggandeng para ahli sosial dan para pelaku prostitusi untuk untuk dilibatkan ke dalam formulasi kebijakan publik. Pemerintah membuka pintu dialogis yang bersifat deliberatif, agar bisa secara jernih melihat apa yang terjadi sesungguhnya terhadap fenomena prostitusi tersebut.

Dengan demikian pemerintah tidak gagap terhadap apa itu Open BO, bagaimana cara kerjanya, siapa saja yang terlibat, siapa yang mendorong trend tersebut, dan hal lainnya.

Pemerintah juga harus memandang bahwa PSK dengan konsumennya adalah sama-sama manusia yang memiliki keterikatan terhadap tatanan sosial bernama keluarga.

” Pemerintah dapat melakukan pendekatan ketahanan keluarga, di mana titik perkaranya dipusatkan pada kegiatan prostitusi yang dapat mengancam keutuhan keluarga atau rusaknya relasi-relasi yang ada di dalam keluarga,” paparnya.

Pendekatan tersebut salah satunya dituangkan melalui kampanye pesan visual terhadap masyarakat secara massif, yang mengingatkan mereka dengan keluarganya. Misalnya, dengan cara membentangkan spanduk bertuliskan “Ingat Anak dan Pasangan Sebelum Check-in” di wilayah yang memiliki tingkat prostitusi yang tinggi. kemudian membuat kanal-kanal penyampai informasi di aplikasi kencan dan media sosial yang biasa digunakan untuk menjalankan praktik prostitusi online.

Dua pendekatan ini nantinya diharapkan menghadirkan solusi yang dapat memicu ketidak-seimbangan penawaran dengan permintaan (dis-equilibrium supply and demand), untuk kemudian berakibat pada putusnya relasi kebutuhan antara PSK dengan konsumennya. Akibatnya, lambat-laun Open BO akan kehilangan trendnya, dan kegiatan prostitusi akan mengalami kejenuhan alami karena ditinggalkan oleh para pelakunya.

Memperluas Partisipasi Masyarakat Dalam Memerangi Prostitusi

Di dalam pengertian memperluas partisipasi masyarakat, tidak dilakukan dengan cara mengajak masyarakat untuk mempersekusi pelaku prostitusi. Masyarakat berpartisipasi dengan cara bersama-sama menciptakan lingkungan yang resisten terhadap potensi terjadinya kegiatan prostitusi tersebut, tetapi melalui upaya dialogis persuasif. Di kecamatan yang memiliki kerawanan akan adanya kegiatan prostitusi, misalkan, masyarakat diperkenalkan bahaya prostitusi yang tidak hanya mencakup moralitas saja, melainkan persoalan gangguan kesehatan (Penyakit Menular Seksual) dan dampak ekonomi dengan membangun komunikasi sosial.

Menurut Djuara (2015) komunikasi sosial dapat dibangun dari komunitas yang berada di dekat tempat tinggal masyarakat. Di sini pemerintah tidak hanya datang melakukan sosialiasi lalu kemudian pergi, melainkan dengan menciptakan trend pembahasan yang secara terus-menerus digaungkan di dalam komunitas yang berada di dekat masyarakat.

Dengan demikian penerima informasi tidak akan memutus rantai informasi hanya pada dirinya atau keluarganya saja, melainkan kepada sanak saudara hingga para tetangganya.

Terakhir, masyarakat diajak untuk merangkul pelaku prostitusi dengan menerimanya sebagai bagian dari masyarakat, bukan mengucilkan dan memberikan stigma yang buruk. Teichman (1998) menjelaskan jika seseorang atau sekelompok orang mendapatkan perlakuan pengucilan oleh masyarakat akibat terlibat dalam prostitusi, maka itu hanya akan memunculkan tembok pemisah di antara keduanya.

” Pelaku prostitusi merupakan subjek yang harus mendapatkan dakwah rohaniah dan edukasi, sehingga nilai-nilai norma yang sebelumnya absen, dapat dihadirkan kembali,” tutupnya.(rls)

Shares:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *