DaerahJawa Barat

Ibu-ibu Pesisir Tanjung Pakis Karawang Ubah Sampah Jadi Uang Hasil Kolaborasi dengan PHE ONWJ

KARAWANG, JabarNet.com – Di pagi yang cerah, tiga ibu-ibu pesisir Tanjungpakis melangkah cepat ke arah pantai setelah menyiapkan bekal untuk suami mereka yang melaut.

Tak jauh dari bibir pantai, tampak tumpukan sampah plastik menggunung di atas keranjang. Di bawah terik matahari dan berlatar belakang laut biru keperakan, tangan-tangan mereka lincah memilah sampah plastik dan non-plastik.

Mereka bekerja di Bank Sampah yang berdiri di wilayah tersebut, memisahkan jenis-jenis sampah plastik yang bernilai jual tinggi. Botol air mineral kemasan 600 ml dan 1,5 liter menjadi primadona, dihargai hingga Rp 6.000 per kilogram oleh pengepul. Sementara botol kemasan 220 ml dijual seharga Rp 2.000–Rp 5.000/kg, tutup botol Rp 2.500/kg, dan ember plastik Rp 1.800/kg.

Selama satu setengah tahun terakhir, para istri nelayan ini aktif membantu ekonomi keluarga lewat kegiatan pemilahan sampah, terutama saat tangkapan laut menurun akibat cuaca yang tak menentu.

Bank Sampah ini merupakan hasil kolaborasi antara Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Desa Tanjungpakis, Karawang. Sampah botol air mineral mendominasi, karena mayoritas nelayan membawa bekal air dalam kemasan besar saat melaut.

Ketua KKPMP Tanjungpakis, Sopyan Iskandar, menjelaskan bahwa sampah di wilayah pesisir berasal dari dua sumber utama: limbah rumah tangga dan industri kecil dari hulu sungai, serta sampah yang dibuang sembarangan oleh warga setempat.

“Masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan karena wilayah pesisir sulit dijangkau armada kebersihan. Aksesnya jauh dan jumlah armada terbatas,” ujar Sopyan.

Solusinya, kata dia, adalah pengelolaan berbasis komunitas. “Kami ingin menangani sampah dengan biaya rendah dan sekaligus mendorong perubahan perilaku masyarakat agar membuang sampah di tempatnya,” tambahnya.

Program Bank Sampah dimulai dengan membagikan tempat sampah dan buku tabungan ke 114 rumah warga. Setiap kepala keluarga menjadi nasabah, dan petugas—yang juga warga sekitar—mengambil sampah dua kali seminggu untuk dipilah dan dikumpulkan. Sampah yang bernilai jual diserahkan ke pengepul, sedangkan sisanya dimusnahkan.

Keuntungan dari penjualan dibagi dua, sebagian untuk operasional, sisanya menjadi tabungan nasabah yang bisa dicairkan kapan saja.

“Ada keluarga yang dalam tiga bulan berhasil mengumpulkan tabungan hingga Rp 400 ribu. Petugas pemilah juga mendapatkan penghasilan tambahan,” ungkap Sopyan.

Ke depan, Sopyan berharap cakupan program diperluas dan jenis sampah yang dikelola semakin beragam, termasuk eceng gondok dan limbah laut.

“Kami ingin olah eceng gondok menjadi pengganti bungkus plastik dan mengolah kerang berduri yang dibuang nelayan menjadi suvenir,” tuturnya.

Inisiatif ini mendapat dukungan penuh dari PHE ONWJ. Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ, R. Ery Ridwan, menyatakan program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 12 tentang konsumsi dan produksi bertanggung jawab, serta SDG nomor 14 tentang ekosistem laut.

“Program ini bertujuan mengurangi pencemaran laut akibat sampah plastik dan meningkatkan kualitas lingkungan pesisir. Kami yakin, kolaborasi masyarakat dan sektor swasta dapat melahirkan solusi inovatif dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ery berharap, keterlibatan warga, terutama perempuan, dalam pengelolaan sampah bisa membuka peluang ekonomi baru dan meningkatkan kesadaran lingkungan.

“Nelayan sebagai pengangkut sampah, dan istri mereka sebagai pemilah, adalah wujud nyata pemberdayaan komunitas,” tutupnya.

Shares:

Related Posts