KARAWANG, JabarNet.com – Para rekanan atau penyedia barang dan jasa di Kabupaten Karawang dibuat resah dengan adanya surat edaran terbaru yang mengatur ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah, khususnya terkait kewajiban memiliki status Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk pekerjaan dengan nilai di atas Rp50 juta.
Kebijakan tersebut dianggap memberatkan, mengingat untuk menjadi PKP kita harus mengajukan surat permohonan PKP dan itu pun menunggu hasil cek lapangan dari petugas pajak adapun salah satu syarat perubahan status menjadi PKP adalah memiliki omzet tahunan minimal Rp4,8 miliar. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) lokal yang belum memenuhi syarat tersebut, sehingga khawatir tidak bisa memperoleh status PKP dari Direktorat Jenderal Pajak.
“Jika pengajuan PKP ditolak karena tidak memenuhi syarat omzet, lalu apakah kami masih bisa melaksanakan pekerjaan di atas 50 juta? Ini membingungkan dan berpotensi mematikan usaha kecil yang sedang tumbuh,” keluh salah satu pelaku usaha lokal di Karawang.
Lanjutnya, salahsatu rekanan di Karawang ini mengatakan, Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan visi dan misi Pemerintah Kabupaten Karawang yang selama ini gencar mengusung program peningkatan ekonomi dan kewirausahaan masyarakat.
“Banyak yang menilai, aturan ini justru menjadi penghambat tumbuhnya pengusaha lokal yang masih dalam tahap berkembang,”katanya.
Disampaikan dia, Pelaku usaha mendesak agar pemerintah daerah bersikap dan menjembatani persoalan ini dengan pemerintah pusat.
“Agar ada solusi yang tidak merugikan pelaku usaha kecil tanpa melanggar aturan yang berlaku, seharusnya Pemkab Karawang sosialisasi terlebih dahulu jangan langsung terapkan aturan “pungkasnya.
Sementara itu dilansir dari www.pajakklik.id
PKP adalah wajib pajak perorangan atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 dan peraturan perubahannya.
Syarat Menjadi PKP memiliki pendapatan bruto dari usaha mencapai lebih dari Rp4,8 miliar setahun.
Catatan, Pengusaha yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar setahun, tidak diwajibkan menjadi PKP, namun tetap dapat mengajukan diri sebagai PKP.
Sebagaimana diketahui Pemkab Karawang melalui Surat Sekretaris Daerah (Sekda) telah mengeluarkan surat pertanggal
19 Maret 2025 dengan Nomor 900.1.8.2/1210/BPKAD.
Perihal, Pengenaan PPN atas pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Daerah yang ditujukan kepada Kepala SKPD se- Kabupaten Karawang
Adapun bunyi surat tersebut sebagai berikut:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan menindaklanjuti hasil Rapat Koordinasi Tata Cara perhitungan dan Penyetoran Pajak berdasarkan PMK 81 Tahun 2024 dan aplikasi Coretax pada tanggal 11 Februari 2025, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. bahwa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh Bendahara SKPD hanya dikenakan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan nominal belanja di atas Rp2.000.000,00, sedangkan transaksi yang dilakukan kepada penyedia non PKP tidak dikenakan PPN. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 39A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyebutkan bahwa Perusahaan yang belum dikukuhkan sebagai PKP tidak boleh memungut PPN serta tidak boleh menerbitkan faktur pajak dan PMK 59/PMK.03/2022 pasal 16 ayat (1) bahwa instansi pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPn dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah.
2. Sebelum adanya aplikasi Coretax, para bendahara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Karawang melakukan pungutan PPN terhadap Penyedia Non PKP atas transaksi di atas Rp 2.000.000,00 dan menyetorkannya ke kas negara dengan melalui NPWP Bendahara.
Akan tetapi, saat ini mekanisme tersebut tidak dapat dilakukan karena Aplikasi Coretax tidak dapat memfasilitasi pembayaran PPN tanpa faktur pajak atas nama Penyedia Non PKP maupun pembayaran PPN melalui NPWP bendahara.
Sementara itu, pihak KPP meminta agar bendahara tetap memungut dan menyetorkan pungutan PPN dimaksud melalui deposit ke kas negara tanpa adanya e-faktur, sehingga tidak dapat dilaporkan sebagai pembayaran pajak melalui SPT Masa PPN dan tidak dapat diakui sebagai pembayaran pajak PPN, dan hal ini tentunya berpotensi menjadi temuan audit dan dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
3. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat, kami memperoleh informasi bahwa transaksi yang dilakukan terhadap Penyedia Non PKP, tidak dikenai PPN dan untuk memastikan bahwa Pengusaha yang bersangkutan merupakan Non PKP, maka pengusaha dimaksud harus melampirkan surat keterangan Non PKP yang diterbitkan oleh KPP setempat atau surat pernyataan yang dibuat oleh Perusahaan yang menyatakan Perusahaan tersebut bukan PKP.
Sehubungan hal-hal dimaksud, dengan ini kami minta kepada seluruh pengelola keuangan di SKPD, bahwa dalam melakukan pengadaan barang dan jasa agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Memaksimalkan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD) karena pada saat melakukan pembayaran dengan menggunakan KKPD, Bendahara tidak dibebani kewajiban untuk memungut/memotong PPN dan PPh, kecuali PPh 23 dan Pajak Mamin.
2. Melakukan pengadaan barang dan jasa dengan Penyedia yang telah terdaftar sebagai PKP, terutama untuk transaksi yang mekanisme pembayarannya menggunakan LS dengan nominal diatas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3. Jika melakukan transaksi dengan Penyedia non PKP, maka nilai transaksi maksimal sebesar nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), setelah harga yang tercantum dalam DPA dikurangi dengan PPN. Selain itu, Bendahara juga harus memastikan bahwa penyedia yang bersangkutan adalah Non PKP, dengan meminta surat keterangan dari KPP setempat atau surat pernyataan yang dibuat oleh penyedia yang menyatakan bahwa penyedia tersebut tidak terdaftar sebagai PKP.